Mengapa Tuhan Mengizinkan Ujian dalam Hidup Kita?
Dalam proses beriman dan mengikuti Tuhan, kita semua akan menghadapi ujian, seperti musibah keluarga, kesulitan dalam pekerjaan, kerugian harta benda, siksaan penyakit dan lain sebagainya. Banyak orang tidak mengerti: Tuhan mengasihi manusia, jadi mengapa Tuhan menguji kita? Dengan membaca artikel ini, Anda akan mengerti mengapa Tuhan menguji kita dan kehendak-Nya di balik ujian.
Mengapa Tuhan Menguji Kita?
Tuhan berfirman: "Dan Aku akan membawa bagian ketiga itu melewati api, dan akan memurnikan mereka seperti perak dimurnikan, dan akan mengujinya seperti emas diuji: mereka akan memanggil nama-Ku, dan Aku akan mendengar mereka: Aku akan berkata, Ini adalah umat-Ku: dan mereka akan berkata, Yahweh adalah Tuhanku" (Zakharia 13:9). "Lihatlah, Aku telah memurnikan engkau, tetapi tidak dengan perak; Aku telah memilih engkau dalam tungku penderitaan" (Yesaya 48:10).
Seperti yang dapat kita lihat dari firman Tuhan, ada kehendak Tuhan dalam membiarkan ujian dan pemurnian menimpa kita. Ini sepenuhnya untuk menyucikan hal-hal dalam diri kita yang tidak sesuai dengan Tuhan, sehingga iman kita kepada Tuhan menjadi lebih murni, dan agar kita dapat benar-benar menaati dan mengasihi Tuhan serta menjadi orang-orang yang mendapatkan pujian dan berkat Tuhan.
Karena kita manusia telah dirusak oleh Iblis, kita memiliki banyak watak yang rusak dan sifat iblis yang menentang Tuhan. Tanpa ujian, kita tidak dapat mengenali watak rusak kita dan ketidakmurnian dalam keyakinan kita. Oleh karena itu, Tuhan mengizinkan ujian dan pemurnian menimpa kita untuk mengungkap pemberontakan yang tersembunyi jauh di dalam hati kita, sehingga kita dapat memperoleh pemahaman tentang kekurangan kita dan kerusakan kita yang melawan Tuhan. Selama periode ini, melalui doa kita kepada Tuhan dan mencari kebenaran, Tuhan akan mengerjakan kebenaran ke dalam diri kita sehingga menggantikan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan cara ini, kerusakan dan kecemaran kita secara bertahap akan dimurnikan.
Misalnya, setelah beriman kepada Tuhan, kita telah menikmati banyak anugerah dan berkat-Nya, sehingga kita rela membalas kasih-Nya dengan meninggalkan segala sesuatu, berkorban, dan bekerja keras bagi-Nya. Ketika kita mengalami sedikit penderitaan dan membayar beberapa harga, kita menganggap diri kita sebagai orang yang paling mengasihi Tuhan, yang sepenuhnya memperhatikan kehendak-Nya, dan yang pasti dapat memperoleh persetujuan-Nya. Namun, ketika cobaan penyakit menimpa dan membahayakan hidup kita, kita mengembangkan kesalahpahaman dan keluhan tentang Tuhan, berpikir, "Aku telah berkorban untuk Tuhan, jadi bagaimana aku bisa mendapatkan penyakit yang begitu serius? Aku mengasihi Tuhan, jadi mengapa Tuhan tidak melindungi atau menyembuhkan aku?" Saat itu, kita tidak lagi beriman kepada Tuhan dan tidak rela berkorban untuk-Nya, bahkan ada yang mengingkari dan mengkhianati-Nya. Ini mengungkapkan kerusakan dan perspektif kita yang salah tentang iman. Kita dapat melihat dengan jelas bahwa kita tidak memiliki ketaatan kepada Tuhan, dan bahwa kita meninggalkan semuanya, mengabdikan diri, dan bekerja keras bukan untuk mengasihi dan memuaskan Tuhan, tetapi sebaliknya kita melakukan semuanya untuk mendapatkan berkat dan manfaat bagi diri kita sendiri—kita ingin menggunakan pengorbanan kita untuk mendapatkan rahmat dan berkat Tuhan serta bagian dalam kebahagiaan kerajaan surga sebagai imbalannya, yang pada dasarnya berusaha untuk bertransaksi dengan Tuhan. Kemudian kita menyadari betapa egois dan hinanya kita!
Ketika kita memiliki pengetahuan yang benar tentang kerusakan dan pemberontakan kita, kita merasa menyesal, bersalah dan berhutang budi kepada Tuhan, kemudian berdoa kepada Tuhan dan ingin bertobat, mempraktikkan kebenaran dan hidup dengan firman Tuhan. Dengan cara ini, pandangan kita tentang keyakinan dan watak yang rusak dapat mengalami beberapa perubahan. Setelah pengalaman seperti itu, kita dapat memahami bahwa meskipun pencobaan dan pemurnian menyebabkan kita menderita secara daging, itu sangat bermanfaat bagi kehidupan kita dan merupakan kasih dan keselamatan Tuhan bagi kita. Sama seperti firman Tuhan yang mengatakan, "Semakin besar pemurnian Tuhan, semakin hati orang mampu mengasihi Tuhan. Siksaan dalam hati mereka bermanfaat bagi hidup mereka, mereka lebih mampu untuk berada dalam keadaan damai di hadapan Tuhan, hubungan mereka dengan Tuhan bertambah dekat, dan mereka lebih mampu melihat kasih Tuhan yang agung dan penyelamatan-Nya yang luar biasa. Petrus mengalami pemurnian hingga ratusan kali, dan Ayub menjalani sejumlah ujian. Jika engkau semua ingin disempurnakan oleh Tuhan, engkau pun harus mengalami pemurnian ratusan kali; hanya jika engkau melewati proses ini, dan mengandalkan langkah ini, engkau akan dapat memuaskan kehendak Tuhan, dan dijadikan sempurna oleh Tuhan. Pemurnian merupakan cara terbaik yang Tuhan gunakan untuk menyempurnakan manusia; hanya pemurnian dan ujian pahit yang dapat memunculkan kasih sejati kepada Tuhan dalam hati manusia."
Bagaimana Orang Katolik Menghadapi Ujian
Kita sekarang tahu kehendak Tuhan di balik ujian. Lalu bagaimana seharusnya kita menjalani ujian? Firman Tuhan berkata,"Ketika menghadapi penderitaan, engkau harus mampu untuk tidak memedulikan daging dan tidak mengeluh kepada Tuhan. Ketika Tuhan menyembunyikan diri-Nya darimu, engkau harus mampu memiliki iman untuk mengikuti-Nya, menjaga kasihmu kepada-Nya tanpa membiarkan kasih itu hilang atau berkurang. Apa pun yang Tuhan lakukan, engkau harus tunduk pada rancangan-Nya, dan siap untuk mengutuki dagingmu sendiri daripada mengeluh kepada-Nya. Ketika dihadapkan pada ujian, engkau harus memuaskan Tuhan, meskipun engkau mungkin menangis getir atau merasa enggan berpisah dengan beberapa objek yang engkau kasihi. Hanya inilah kasih dan iman yang sejati. Bagaimanapun tingkat pertumbuhanmu yang sebenarnya, engkau pertama-tama harus memiliki keinginan untuk menderita dan memiliki iman yang sejati, dan engkau juga harus memiliki keinginan untuk meninggalkan daging. Engkau harus mau menanggung kesulitan pribadi dan kehilangan kepentingan pribadi demi memuaskan kehendak Tuhan. Engkau juga harus mampu merasakan penyesalan tentang dirimu sendiri di dalam hatimu: di masa lalu, engkau tidak mampu memuaskan Tuhan dan sekarang, engkau dapat menyesali dirimu. Engkau tidak boleh kurang dalam satu pun dari hal-hal ini—melalui hal-hal inilah Tuhan akan menyempurnakanmu. Jika engkau tidak dapat memenuhi kriteria ini, engkau tidak bisa disempurnakan."
Firman Tuhan memberi kita jalan praktik. Saat mengalami ujian dan pemurnian, jika kita dapat menerima dan tunduk pada pekerjaan Tuhan, dan mencari kehendak dan tuntutan Tuhan kepada kita, jika kita dapat meninggalkan daging dan mempraktikkan kebenaran, lebih memilih menanggung penderitaan daging untuk menjadi kesaksian bagi Tuhan, dan jika kita dapat mengalami lingkungan ini dengan hati yang mengasihi Tuhan dan keinginan untuk memuaskan-Nya, maka kita akan dapat memahami lebih banyak kebenaran melalui ujian ini dan mendapatkan persetujuan serta berkat Tuhan.
Ambil Ayub sebagai contoh. Ketika dia mengalami ujian, ketika hartanya dirampok, anak-anaknya dibinasakan, dan dia sendiri menderita bisul di sekujur tubuhnya, meskipun dia kesakitan, dia tidak pernah berbuat dosa dengan kata-katanya, melainkan menerima segala sesuatu dari Tuhan di dalam hatinya. Dia juga bisa berdoa untuk mencari kehendak Tuhan, dan akhirnya berkata, "Yahweh yang memberi, Yahweh juga yang mengambil; terpujilah nama Yahweh" (Ayub 1:21), dan Tetapi ia menjawab istrinya: "Engkau berbicara seperti perempuan bodoh. Apakah kita mau menerima yang baik dari tangan Tuhan dan tidak mau menerima yang jahat?" Dalam semua ini Ayub tidak berdosa dengan bibirnya. (Ayub 2:10). Dia menjadi kesaksian bagi Tuhan dengan kata-kata itu dan memperoleh pujian dan berkat Tuhan. Ayub tidak hanya menerima berkat materi dari Tuhan, tetapi yang lebih penting, Tuhan menampakkan diri kepada Ayub dalam badai, Ayub mendengar Tuhan berbicara secara pribadi kepadanya dan dia memperoleh pemahaman yang tulus tentang Tuhan. Betapa besarnya keberuntungan yang dia miliki! Ada juga Abraham. Ketika dia berusia 100 tahun, Tuhan menganugerahkan kepadanya seorang putra, Ishak. Ketika Ishak bertumbuh dewasa, Tuhan meminta Abraham untuk mempersembahkan satu-satunya anak ini sebagai korban kepada Tuhan. Meskipun Abraham merasa lemah dan sakit saat itu, dia tahu bahwa karena putra ini dianugerahkan kepadanya oleh Tuhan, dia harus mengembalikannya kepada Tuhan tanpa syarat. Ketika dia bersedia mempersembahkan putranya, dia mendapatkan pujian Tuhan. Pada akhirnya, Tuhan tidak hanya menolak untuk mengambil Ishak tetapi juga memberkati Abraham dengan keturunan yang berlimpah seperti bintang-bintang di langit atau butiran pasir di tepi pantai.
Dari sini kita dapat melihat bahwa, apa pun ujian yang datang kepada kita, kita tidak boleh beralasan dengan Tuhan atau memberikan syarat kepada-Nya, tetapi harus berdoa untuk mencari kehendak Tuhan dengan hati yang taat. Inilah akal sehat yang harus kita miliki sebagai makhluk ciptaan ketika Tuhan menguji kita. Hanya dengan cara ini, kita dapat menjadi kesaksian dalam ujian dan memenangkan perkenanan dan berkat Tuhan.
- Catatan Editor
-
Kita percaya bahwa, dengan membaca artikel ini, akan mengerti mengapa Tuhan menguji kita. Jika artikel ini bermanfaat bagi Anda, silakan bagikan dengan orang lain agar mereka juga memiliki jalan praktik dalam ujian. Jika Anda memiliki kebingungan atau pertanyaan lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami menggunakan tombol obrolan online di bagian bawah. Kami online 24 jam sehari siap menjawab pertanyaan Anda.
Hubungi kami